PELA GANDONG

“CERITA DARI MALUKU : Provokator Damai”

Penulis : Nur Safitri R. Lasibani (Founder Backpacker Literasi)

Di  Aljazirah, Film Dokumenter Perdamaian dari  Ambon mendapatkan juara III tingkat Internasional dengan judul “Provokator Damai”. Orang Nigeria kaget ketika mengetahui Ambon telah aman, karena waktu itu menurut mereka, Ambon telah hancur; tak akan ada lagi kehidupan disana. Saat itu  keadaan di Ambon  memang sangatlah kelam. Tetapi, mengapa Ambon akhirnya bisa bangkit, ceritanya sangat menarik. Salah satu yang membuat cerita ini menarik adalah cerita Pela gandong. Menurut Masyarakat Ambon, seandainya tidak ada Pela Gandong, mereka pasti akan selalu berada dalam kesusahan. Pela gandong itu adalah Pela itu kita angkat. Contohnya, Negeri   (Kampung) Liang  mayoritas beragama muslim, lalu ada kampung di Pulau Seram atau di Saparua beragama Kristen, kita angkat Pela.  Nama adatnya adalah Pela angkat. Ada namanya Pela tampaksiri dan Pela dara. Kalau Pela dara artinya memiliki hubungan keluarga, sedangkan Pela tampaksiri, artinya makan pinang. Adapun Pela gandong adalah saudara kandung.

Alkisah 2 orang adik kakak, mereka terpisah lalu mereka tinggal di suatu tempat. Satunya beragama kristen dan satunya beragama Islam. Sampai saat inipun, masih tetap ada. Namanya Pela dan gandong, 2 rumah/daerah/agama yang berbeda tetapi gandong (baca: saudara kandung), hal itu tidak bisa dipisahkan bahkan sampai kerusuhan besar sekalipun. Yang gandong masih bisa tinggal di tempat Islam dan yang Islam masih bisa tinggal di tempat yang kristen. Padahal, sudah habis-habisan tetapi masih ada titik temu.  Titik temu itulah yang masih bisa diandalkan, yang masih bisa dipegang. Hal inilah yang mendasari mengapa sampai orang-orang Nigeria kaget dengan Ambon, sedangkan yang ada dalam pikiran mereka bahwa Ambon telah hancur.

Banyak pakar yang berprediksi bahwa Ambon sudah tidak bisa aman lagi. Selain Pela gandong, ada juga pemuda-pemuda yang bangkit dari berbagai komunitas dan membuat sebuah jaringan kebersamaan, kemudian terbentuk dan mulailah Ambon kembali aman. Akibat dari konflik yang terjadi, semua masyarakatnya tinggal terpisah-pisah. Yang dulunya mereka tinggal dalam satu komunitas, sekarang mereka sudah terpisah-pisah.  Siswa gabungan yang dahulunya tinggal disatu daerah juga akhirnya pindah, begitupun  dengan para pengajarnya. Sebagai pendidik, mereka membuat Panas Pela Pendidikan untuk menghilangkan sekat antara 2 komunitas yang terpecah-pecah. Ada cerita menarik dari kegiatan tersebut, tentang bagaimana para siswa/i yang dipertemukan kembali menangis dan sampai berpelukan sebab ada sesuatu yang hilang (something lose). Banyak yang bertanya bagaimana mereka akhirnya bisa terpisah. Ternyata mereka adalah basudara (bersaudara), “Potong di kuku rasa di daging”

Maluku saat ini merupakan laboratorium perdamaian dunia, sampai-sampai Gong Perdamaian Dunia diadakan di Ambon. Disaat Nigeria, disaat orang-orang diluar masih berkonflik, di Ambon telah aman. Padahal, skala kerusuhan di Ambon lebih dahsyat daripada diluar. Kalau kita hidup di Tahun 1999 sampai 2003, mereka tidak pernah bertemu. Jangankan bertemu, mereka bahkan tidak bisa berpapasan. Semuanya disekat, daerahnya disekat. Mayat dimana-mana. Kemudian mereka bangkit dengan pela gandong yang didengungkan oleh pemerintah provinsi. Mereka terus mendengungkan bahwa damai itu adalah aman. Berbagai komunitas saling mendukung satu sama lain.

Di maluku, kurang lebih terdapat 330 bahasa tanah. Yang paling sarat itu ada di Maluku Tenggara, Kei. Kalau di Liang, contoh orang Ambon mengatakan mari kita makan, dalam bahasa  tanah adalah mai iki pamana. Dulu semua orang memiliki bahasa daerah. karena Ambon dulunya dijajah oleh penjajah, sehingga penjajah itu tidak mau orang-orang itu berbahasa daerah, karena mereka takut ada bahasa rahasia. Jadi, mereka klaim tidak boleh ada bahasa daerah, mereka harus berbahasa Indonesia atau bahasa Ambon yang mereka bisa paham. Tidak boleh bahasa Tanah. Karena bahasa tanah itu susah untuk dipahami. (Bahasa Tanah : Hanai pe ama  atau Bagaimana kabar)

Kita punya kata-kata serapan Indonesia yang EYD (sekarang menjadi pedoman Bahasa umum yang disempurnakan) itu, bahasa serapannya dari Belanda. Mengapa Bahasa Inggris menjadi Bahasa Internasional, yaitu:

Pertama, kesepakatan bersama. Karena sebagian besar daerah-daerah yang dikuasai Inggris paling besar. Jadi mengapa Bahasa Inggris menjadi bahasa universal. Indonesia dengan Malaysia itu berbeda. Malaysia dikuasai oleh Inggris, jadi Bahasa Inggris. Kalau Indonesia dengan Bahasa Belanda. Jadi, serapan Bahasa Ambon seperti kukis (kue), kemudian kadera (kursi), linggis, itu sudah serapan dari Belanda.

Pantai Negeri Liang dahulunya merupakan tempat pendaratan darurat para penjajah Jepang. Waktu Hiroshima dan Nagasaki di bom, orang-orang Jepang ketika itu pulang tidak  boleh membawa apa-apa, sementara mereka punya pesawat, panser, semuanya berada di Negeri Liang. Akhirnya konon menurut cerita, mereka memakai rakit besar yang sebelumnya ketika malam, rakit itu dianyam. Jadi setiap mobil diangkut ke rakit, dibawa ke laut dan tenggelam. Semua peralatan tempur ditenggelamkan di tengah laut  Pantai Negeri Liang.

Suku Alifuru yang merupakan suku asli Ambon masih ada hingga saat ini. Penyebutan suku alifuru dalam bahasa tanah yaitu naulu. Naulu sampai sekarang ketika mereka ke kota, mereka memakai ikat kepala berwarna merah. Meskipun mereka sudah menjadi pejabat, guru, polisi, mereka tetap memakai ikat kepala berwarna merah dimanapun mereka berada. Karena itu merupakan identitas mereka. Naulu terbagi menjadi dua, yaitu Naulu merah dan Naulu putih. Naulu merah, mereka berdiam sekitar pesisir pulau seram, gunung yang lapis pertama. Kalau sudah lapis kedua, di hutan, berdiam Naulu putih. Naulu putih bertransaksi dengan Naulu merah dalam hal belanja. Naulu merah bisa bertemu dengan masyarakat Ambon, bisa belanja dan bertransaksi, barter, pakai uang. Sedangkan Naulu putih tidak.  Naulu merah membawa barang kesana, lalu Naulu merah bertransaksi dengan Naulu putih. Jadi mereka melakukan transaksi di hutan. Mereka sama sekali tidak akan keluar ke dunia seperti yang dinikmati oleh kebanyakan orang. Naulu putih tidak terima.

Naulu merah  biasanya berjalan dengan rombongan-rombongan, beriringan. Mereka tidak bisa berjalan satu per satu. Dan itu merupakan kebiasaan dari Naulu merah. Mereka duduk sama-sama dan makan bersama. Masyarakat biasa tidak bisa memakai ikat kepala berwarna merah seperti yang dilakukan oleh Naulu merah, karena bagi mereka itu merupakan sebuah penghinaan. Tidak bisa dipakai, apalagi diambil dari kepala mereka. Bagi mereka, itu adalah sikap untuk menyatakan perang. Bagi mereka, apabila ikat kepala berwarna merah itu lepas dari kepala mereka, sama halnya seperti kepala mereka terlepas dari badan. Mereka memiliki hasil bumi yang sangat melimpah. Mereka biasa makan sirih pinang.

Di Maluku, biasa mereka mengatakan dengan Negeri Raja-raja karena hampir semua desa, itu ada Raja. Dan setiap jazirah itu akhirnya jadi kecamatan. Setiap kecamatan ada pemimpinnya sendiri. Raja-raja itu menuakan seseorang yang akan menjadi pemimpin. Di Maluku tidak disebut kepala desa, tetapi Raja. Setiap Negeri memiliki Rajanya masing-masing. Makanya mengapa Maluku disebut dengan “Negeri Raja-raja”

Setiap desa adat, memiliki raja dan pengangkatannya sangat luar biasa. Bahkan menurut Perda saat ini, pengangkatan Raja harus dari keturunan Raja. Kemudian pengangkatan Raja di Maluku sangat sakral. Sampai acaranyapun melibatkan banyak hal. Begitu pengangkatan Raja, Negeri yang namanya Pela atau Gandong nya itu, diundang khusus harus datang. Waktu pengangkatan Raja, satu Negeri yang memiliki Gandong harus datang untuk membantu. Seluruh prosesi penyambutan tamu negeri diatur oleh tuan rumah (yang membuat acara). Mulai dari cakalele, makan patita semuanya mereka yang mengatur. Begitupun sebaliknya. Hal itu merupakan sesuatu yang lazim di Maluku dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Saking dekatnya hubungan Pela Gandong itu, masyarakat dari Negeri sebelah yang datang tidak boleh melarang ketika gandongnya datang untuk mengambil hasil bumi ataupun barang-barang di rumah. Ditegurpun tidak boleh. Karena dipercaya akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Begitu luar biasa hubungan persaudaraan antara Negeri yang memiliki hubungan Pela gandong. Kemudian, diharamkan menikah bagi orang-orang dari Negeri yang memiliki hubungan Pela Gandong. Apabila sampai menikah, akibatnya akan fatal. Bisa-bisa anaknya menjadi cacat, idiot dan sebagainya. Karena hubungan darah itu.

Kalau di Ambon, apabila orang yang akan menikah, ditanya marganya terlebih dahulu. Negeri Liang memiliki Gandong dengan Nusa Laut, tetapi ada kampung yang namanya Silalenitu. Itu haram hukumnya untuk menikah dari semua sisi. Jangankan menikah, saling menyukai saja tidak bisa. Bahkan kalau seandainya ketahuan antara orang yang Negerinya memiliki Pela Gandong jalan bersamaan antara Laki-laki dan Perempuan (berpacaran) yang berbeda Negeri, lelaki itu harus meminta izin terlebih dahulu kepada orang-orang yang memiliki hubungan Pela gandong dengan si Perempuan tersebut. Bahkan apabila terjadi sesuatu yang tidak baik kepada si Perempuan dari lelaki tersebut, semisal pelecehan atau bahkan dikata-katai kasar, lelaki tersebut bisa berurusan dengan Masyarakat yang memiliki Pela Gandong dengan si Perempuan, sampai-sampai lelaki tersebut bisa di sidang adat.

Di Negeri Liang sendiri ada beberapa marga besar, yaitu salah satunya Marga Lessy. Kemudian ada Samuel/samual dan Soplestuni serta Lestusen. Orang-orang Ambon bisa dideteksi melalui marganya. Perempuan dan laki-laki yang Negerinya memiliki hubungan Pela Gandong, tidak bisa berhubungan dalam konteks pacaran karena akan ditentang dari segala sisi. Mereka hanya bisa menjadi wari’aa (kakak dan adik). Saking kentalnya kontradiksi tersebut, sampai ke tingkat perkawinanpun diatur.

Maluku juga mendapatkan julukan sebagai Moluccas Spice Island, karena Maluku adalah Pulau yang sangat terkenal dengan hasil buminya, mulai dari Pala, cengkeh dan sebagainya. Sehingga mengapa orang kenal Indonesia karena Maluku. Belanda dan portugis datang ke Indonesia pertama kali yaitu ke Maluku.

______________________________

(Nur Safitri R. Lasibani, Alumnus National Interfaith Youth Camp 2018)

Ambon tetap Manise, penuh ketawa, penuh obrolan. Tetapi ada juga kesunyian yang luar biasa di Ambon mengenai kerusuhan, atau lebih tepat disebut perang saudara lokal, yang berawal pada tanggal 19 Januari 1999. Kesunyian itu berakhir hari ini!

Ambon tekah berekonsiliasi, namun tanpa bicara didepan publik mengenai kejadian-kejadian nyata selama perang saudara itu. “Rekonsiliasi tanpa kebenaran”.

Pada 1999, ditengah deraan konflik yang menyengsarakan, ketika banyak orang terjebak dan “terpaksa” terlibat langsung atau tidak dalam amuk kekerasan, tak sedikit anak Maluku yang dengan caranya masing-masing mengambil jarak dan bersikap kritis terhadap konflik. Bersamaan dengan itu, mereka mulai berusaha memperjuangkan perdamaian. (Carita Orang Basudara)

 

 

Leave a comment